Kamis, 01 April 2010

Rasulan Dalam Kehidupan Masyarakat Desa Karangsari

I. Pengertian Umum
‘Rasulan’ menurut pandangan masyarakat merupakan sebuah rangkaian upacara adat bersih desa yang hidup di dalam lingkungan masyarakat Desa Karangsari, kecamatan Jatiyoso, kabupaten Karanganyar. Dimana kegiatan ini dilakukan setiap satu tahun sekali dengan perayaan upacara yang dilakukan secara sederhana dan setiap dua tahun sekali dilaksanakan secara besarbesaran oleh masyarakat desa Karangsari.
Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk adat yang diwariskan oleh masyarakat desa Karangsari dari setiap generasi. Awal mula kemunculan tradisi ini belum dapat ditelusuri, dikarenakan kegiatan yang masih hidup merupakan suatu bentuk kegiatan bersifat sebagai suatu warisan dari para leluhur. Sehingga sulit untuk menemukan sejak kapan tradisi tersebut muncul sebagai suatu kebudayaan masyarakat di Desa Karangsari.
Menurut masyarakat, tradisi bersih desa ‘Rasulan’ yang saat sekarang hidup merupakan suatu bentuk tradisi yang sangat penting di dalam kehidupan mereka. Mereka tidak pernah meninggalkan kegiatan ini disetiap tahunnya, bahkan untuk merubah bentuk upacara yang telah ada tersebut.
Bagi mereka menjalankan tradisi ini adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan. Merka percaya jika tradisi ini ditinggalkan akan berakibat fatal dan akan berdampak pada kehidupan mereka.
Mereka memahami bahwa upacara ‘rasulan’ yang mereka jalankan memiliki tujuan yang baik bagi mereka. Pada dasarnya kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan desa dari berbagai hal yang dirasa dapat mengganggu ketentraman hidup masyarakat desa Karangsari. Disamping itu, kegiatan ini juga bertujuan sebagai wujud ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah dan rejeki yang mereka dapatkan disetiap tahunnya.




II. Faktor pendukung
A. Masyarakat
Desa Karangsari merupakan salah satu wilayah yang terletak di kecamatan jatiyoso, kabupaten Karanganyar. Letak desa ini berada di wilayah pegunungan yang mana daerah ini terbilang cukup jauh dari daerah perkotaan, meskipun jalan yang terdapat di daerah ini terbilang cukup bagus. Meki demikian sarana transportasi umum belum tersedia.
Desa karangsari terdapat sekitar .....RW ......Rt. dimana sebagaian besar masyaraka bekerja sebagai petani. Jumalah penduduk di wilayah ini kurang lebih........jiwa.
Mayoritas penduduk desa karangsari mengakhiri pendidikan pada tingkat SMA meskipun banyak juga yang hanya sekolah sampai dengan tingkat dasar atau bahkan sama sekali tidak mengenyam pendidikan.
Berbagai bentuk mitos yang berkaitan dengan kepercayaan masih hidup di dalam kehidupan masyarakat desa Karangsari. Cerita2 tentang kekuatan yang menguasai suatu daerah masih sangat erat melekat dalam kehidupan mereka. Berbagai tempat seperti, pohon, batu, sungai dan punden dikultuskan sebagai tempat bersemayamnya para danyang atau kekuatan gaib yang menguasai daerah tersebut.
Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai tempat seperti batu2 besar, pohon2 besar, sungai dan juga punden2 yang terdapat di desa karangsari masih banyak sekali dijumpai berbagai sesaji.













III. Rangakaian Upacara Rasulan

Pada umumnya bentuk upacara rasulan yang dilaksanakan masing masing dusun adalah sama. Hanya saja pemilihan waktu maupun sajian yang diperuntukkan bagi sang danyang yang berbeda. Seperti halnya yang terjadi di dusun Kangsi, upacara diadakan pada setiap hari jum’at kliwon pada bulan ruwah penanggalan tahun Jawa. Upacara diadakan setiap tahun sekali dengan perayaan sederhana. Sedangkan pada dua tahun sekali upacara diadakan secara besar-besaraan.
Penyajian suatu bentuk kesenian dalam upacara ini menjadi suatu pertanda bahwa upacara ini diadakan secara besar-besaran. Bentuk kesenian yang ditampilkan di setiap dusun berbeda-beda. Misalnya di dusun Kangsi dan dusun druju, kesenian yang di gunakan adalah “Sredekan” sedangkan di dusun dawai dan gersono menggunakan kesenian badut tayub sebagai sarana upacara.
Beberapa urutan pelaksanaan upacara bersih desa “Rasulan” adalah sebagai berikut;
1. Sredekan, yang dilaksanakan pada sore hari
2. tirakatan pada malam hari dengan beberapa acara di dalamnya, sbb:
a. sambutan-sambutan dari para tokoh masyarakat
b. pembacaan do’a oleh kyai/ tokoh agama (Islam)
c. begadang bersama
3. Sedekahan yang dilakukan dirumah Bapak Kadus yang kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan menuju punden untuk mempersembahkan sesaji untuk sang danyang.
4. Kenduri, yang dilaksanakan dirumah bapak kadus.
Pola penyajian upacara atau ritual yang berlangsung tersebut juga dapat berubah, namun isian acara yang berlangsung akan tetap sama, sbb;
1. tirakatan pada malam hari dengan beberapa acara di dalamnya, sbb:
a. sambutan-sambutan dari para tokoh masyarakat
b. pembacaan do’a oleh kyai/ tokoh agama (Islam)
c. begadang bersama
2. Sedekahan yang dilakukan dirumah Bapak Kadus yang kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan menuju punden untuk mempersembahkan sesaji untuk sang danyang.
3. Kenduri, yang dilaksanakan dirumah bapak kadus.
4. Sredekan, yamg dilakukan pada pagi hari.


Tirakatan:
Tirakatan pada rangkaian upacara bersih desa “rasulan” di dusun kangsi dilaksanakan pada malam jum’at kliwon. Dalam kegiatan ini masyarakat berkumpul untuk lek-lekan (begadang) bersama dirumah kadus dusun kangsi.
Masyarakat yang hadir dalam acara ini sebagisan besar berasal dari golongan laki-laki. Kebanyakan masyarakat dari kalangan bapak-bapak dan pemuda. Sedikit sekali wanita maupun anak-anak yang hadir dalam acara ini. Ibu-ibu yang hadir dalam acara ini hanya beberapa saja, dan itupun hanya beberapa yang ditunjuk oleh kadus sebagai penyedia hidangan untuk bapak-bapak maupun pemuda yang hadir dalam acara tersebut.
Sambutan-sambutan dari para tokoh masyarakat mengawali kegiatan tersebut, seperti halnya sambutan dari kepala desa maupun kepala dusun. Dalam sambutan ini, berbagai pesan disampaikan oleh pemimpin desa atau dusun kepada waraga masyarakat untuk tetap menjaga tradisi yang hidup di wilayah mereka. Karena kegiatan ini dirasa sangat berguana bagi masyarakat di dusun tersebut.
Selain sambutan dari para tokoh masyarakat, do’a menjadi bagian terpenting dalam kegiatan ini. Do’a disampaikan oleh seorang kyai atau seorang tokoh agama dalam masyarakat di dusun tersebut. Do’a yang disampaikan merupakan permohonan-permohonan serta harapan masyarakat di da;am kehidupan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Do’a disampaikan denga cara atau adat Islam dalam acara tirakatan ini.
Selanjutnya acara dilanjutkan dengan lek-lekan i(begadang) bersama-sama oleh pere warga masyarakat. Dalam kegiatan ini jika masyarakat menghendaki, sebuah pertunjukan hiburan biasanya dihadirkan di dalamnya. Seperti halnya menghadirkan kesenian campursari di dalamnya.dalam kegiatan ini, masyarakat memiliki tujuan untuk dapat berbahagia bersama-sama. Jika tidak menghadirkan hiburan, masyarakat biasanya mengisi kegiatan ini dengan berjudi, minum atau mungkin hanya mengisinya dengan mengbrol saja.
Kegiatan ini tidak berlangsung hingga matahari terbit. Biasanya, kebanyakan masyarakat undur dari kegiatan ini setelah hidangan disajikan., meskipun tidak semuanya beranjak pergi. Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal hingga acara tersebut selesai. Acara tirakatan ini diakhiri pada pkl 02.00 dini hari.


Sedekahan
Acara sedekahan dilaksanakan di rumah kadus di masing-masing dusun di desa Karangsari, seperti halnya sedekahan yang berlangsung di dusun Kangsi yang diselenggarakan di rumah Bp Hartono atau yang lebih akrab dengan panggilan mas Har. Dalam kegiatan ini setiap warga yang hadir membawa hidangan. Bentuk hidangan yang dihadirkan merupakan suatu simbol ungkapan rasa syukur masyarakat atas rejeki yang telah didapatkan. Adapun hidangan yang dihadirkan antara lain;
a. tumpeng, berupa hidangan nasi yang yang berbentuk kerucut. Namun, bentuk tumpeng tersebut kecil, dan disertakan juga sayur serta lauk di dalamnya.
b. Panggang, hidangan yang berupa satu ayam utuh ditusuk dengan bambu yang dibakar (dipanggang).
Acara ini sebagian besar dihadiri oleh ibu-ibu dan anak-anak. Hal tersebut dikarenakan bapak-bapak sudah merasa lelah dengan kegiatan tirakatan yang berlangsung pada malam hari sebelum sedekahan dilaksanakan.
Kegiatan yang dilakukan adalah saling berbagi tumpeng dan panggang antara warga satu dengan yang lainnya. Dalam kegiatan ini setiap warga masyarakat dapat merasakan hidangan (tumpeng dan panggang) yang dibawa oleh masing-masing dari mereka. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan tampak dan terwujud dalam kegiatan ini.
Selanjutnya acara dilanjutkan menuju ke punden di yang ada di masing-masing dusun. Bambu yang habis digunakan untuk menusuk panggang dibakar di punden dengan menyajikan sesaji. Adapun isi sesaji yang diletakkan di punden antara lain:
1. Bawang merah
2. Bawang putih (bawang lanang)
3. Daun sirih
4. Injet, batu kapur yang telah diendapkan dengan air.
5. Bunga setaman
6. Beras
7. Uang receh
8. Telur
9. Tambir, pecahan genteng.
Sesaji ini disajikan bersama dengan pembakaran bekas tusuk panggang di punden masing-masing dusun dalam acara sedekahan.



Kondangan

Kegiatan kondangan yang berlangsung di salah satu dusun di desa karangsari, kangsi ini hampir sama dengan kegiatan kondangan yang asih hidup dalam kebudayaan masyarakat Surakarta pada umumnya.
Kegiatan ini dilakukan di rumah kepala dusun di dusun kangsi. Sejumlah makanan dibuat untuk dibagikan kepada warga dusun setempat. Sebelum makanan tersebut dibagikan, do’a dibacakan oleh tokoh agama di dusun tersebut (modin), dimana do’a didibacakan dengan tata cara islam.

Sredekan

Dalam kegiatan rasulan yang berlangsung di desa Krangsari, sebuah bentuk kesenian dihadirkan setiap dua tahun sekali. Kesenian sredekan misalnya, dihadirkan di dusun Kangsi dalam rangkaian upacara rasulan.
Nama sredekan awalnya berasal dari seorang tokoh yang menari dalam upacara rasulan tersebut, yaitu ibu Sredek (65 tahun). Yaitu seorang seniman yang bermodalkan bakat alam yang dimilikinya sebagai seorang penari. Dimana beliau mulai menjadi penari sejak tahun 1954 hingga sekarang. Sejak saat itu pula beliau mengawali kariernya untuk menjadi seorang penari dalam suatu upacara (ritual).
Setiap dua tahun sekali dalam upacara rasulan yang berlangsung di dusun Kangsi, beliau sering diundang untuk menari dalam upacara tersebut. Bahkan bisa dikatakan dusun Kangsi adlah pelanggan ibu Sredek untuk upacara rasulan ini. Adapun alasan warga Kangsi mengundang Sredek untuk menari, dikarenakan masyarakat merasa bahwa Sang danyang atau sang penunggu (makhluk gaib) yang menempati dusun tersebut yang mana diyakini masyarakat sebagai cikal bakal berdirinya dusun tersebut lebih menyukai sredek sebagai hiburan bagi mereka. Karena keberadaan sredek dalam upacara ini difungsikan sebagai hiburan bagi sang danyang disamping hiburan bagi masyarakat juga.
Dalam sredekan, sang penari atau sredek harus mampu mengikrarkan atau mengucapkan mantra atau suatu kelimat dimana kalimat tersebut merupakan sarana penyambung komunikasi antara warga masyarakat dengan sang danyang. Dengan kata lain sredek harus mampu mewakili masyarakat dalam berikrar.

Heaven on Earth , Lupakan Hujan di malam terakhir Solo City Jazz 2009

Kota Solo, 5 Desember 2009, sore hari sekitar jam 17.00 mendung sudah memayungi kota Solo, hujan rintik-rintik yang kemudian menjadi cukup deras akhirnya turun membasahi kota Bengawan ini. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan penonton dan penggemar jazz kota Solo untuk tetap hadir menyaksikan Solo City Jazz 2009 (SCJ 2009) yang digelar di Pasar Windujenar, Ngarsopuro, Solo sejak tanggal 4 Desember 2009.
Hadirnya musisi asal Jakarta, Bhayu bersama kelompoknya Heaven On Earth yang berformat trio (keyboards, drums, piano) pada penampilan ke-2 malam terakhir SCJ 2009, tampaknya mampu menghapus kegelisahan penonton akan dinginnya hujan yang mengguyur Kota Bengawan dengan sajian fusion jazz. Hentakan drum ala Ossa hadir menggebrak panggung SCJ 2009, membuka penampilan dengan sajian “Drum Overture”.
Hadirnya grup band yang didirikan oleh Ossa Sungkar dan Tedjo Bhayu Adjie pada tahun 2003 ini sedikit mulai menghangatkan suasana malam terakhir SCJ 2009. Nuansa rock dan funk yang dihadirkan dalam sajian fusion jazz tampak apik untuk dinikmati. Lebih dari itu, kehadiran personil yang murah senyum juga tampak memberikan nuansa asik bagi penonton untuk tetap mendengarkan alunan jazz di night market kota Solo malam itu.
Jazz Rock atau fusion adalah tipe Jazz yang musisinya dalam mengapresiasikan sampai melewati batas sampai kedaerah Rock ataupun jenis musik lain. Fusion mengkombinasikan kebiasan-kebiasaan dan energi dari musik Rock dengan harmonisasi yang sempurna dan kebebasan improvisasi Jazz. Meski hanya tampil dengan tiga orang, namun mereka mampu menampilkan sajian jazz yang berkualitas. Ketiga musisi tersebut saling bergantian memamerkan kebolehan mereka dalam memainkan instrument yang mereka bawakan.
Penampilan Haven on Earth ini tampaknya patut untuk mendapatkan acungan jempol atas permainan cantik yang dipertontonkan. Mata penonton seolah terpaku menyaksikan tangan Franky (Franky Sadikin), pria kelahiran Bandung ini pada saat memainkan bass dengan lincahnya. Bassis tak berambut yang sudah banyak makan garam itu seperti tiada beban dalam memetik keenam senar yang membentang dalam improvesection, seolah dirinya telah menyatu dengan instrumen yang digenggamnya. Tak kalah menariknya Ossa (Ossa Sungkar) sebagai seorang drummer pun memperlihatkan kebolehannya memegang stick. Dentuman keras yang terdengar membuat penonton terkagum-kagum. Hingga tak tahankan diri, penonton pun memberikan tepuk tangan untuk sang drummer yang juga merupakan salah satu pendiri grup band ini. Tak herannya Bhayu (Tedjo Bhayu Adjie) pun turut meramaikan panggung dengan memamerkan kebolehannya memainkan keyboard yang juga tak kalah menarik. Ketiga permainan instrument yang disajikan ini pun terdengar cukup harmonis dan menghibur.
Selanjutnya “Buenoz Diaz Mi Cielo” (Good Morning My Love), yang juga menjadi lagu penutup penampilan Heaven on Earth ini semakin memeriahkan malam penutupan SCJ 2009. Interaksi dengan penonton pun terjadi di tengah penampilan band asal ibukota ini. Penonton pun memberikan tepukan tangan mengiringi Franky dalam memainkan bass-nya, menjadikan suasana semakin hangat. Memang harus diakui bahwa penampilan memukau Bhayu, Ossa Sungkar dan Franky patut diacungi jempol pada Solo City Jazz 2009 kali ini.

Kesenian Musik Bambu Dk. Sambon, Ds. Kertonatan, kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo

I.Latar belakang

Musik bambu merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang terdapat di wilayah kota Kartasura. Kesenian ini hidup tepatnya di Dukuh Sambon, Desa Kertonatan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

Kelompok kesenian musik bambu yang hidup di wilayah Dk. Sambon, Ds. Kertonatan tersebut merupakan salah satu fenomena kelompok musik baru yang lahir di wilayah Kartasura, kabupaten Sukoharjo. Penggunaan media bambu sebagai instrument merupakan suatu hal yang cukup menarik untuk diamati, karena fenomena semacam ini jarang sekali ditemui pada masyarakat di wilayah Kartasura.

Kelompok ini muncul pada sekitar tahun 2003 dengan suatu bentuk kesenian tetek[1], yang selanjutnya mengalami bentuk perkembangan hingga menjadi bentuk kelompok kesenian musik bambu yang saat sekarang dapat dijumpai di wilayah tersebut.

Perbedaan dari kesenian ini pada awal kemunculan di tahun 2003 dengan keberadaan kesenian ini setelah tahun 2004 cukup berbeda. Meskipun keduanya menggunakan instrumen musik yang terbuat dari bambu.

Dari segi bentuk, di awal kemunculan instrumen yang dibuat masih belum memilki konsep. Bambu hanya dipotong-potong dengan ukuran yang berbeda-beda. Selanjutnya pada tahun 2004, instrumen yang dibuat meniru bentuk instrumen yang terdapat pada instrumen gamelan. Seperti halnya, instrumen balungan dan kendhang.

Dari segi nada, pada awal kemunculan nada-nada tidak begitu diperhatikan. Asal masing-masing instrumen sudah memiliki karakter suara yang berbeda, hal itu sudah dirasa cukup. Dalam perkembangannya di tahun 2004, instrumen tersebut dilaras sedemikian rupa, dengan menggunakan interval tangga nada yang terdapat dalam karawitan, yaitu laras pelog dan slendro.

Dari segi komposisi musik, hal ini semakin menambah perbedaan keberadaan kesenian ini pada massa awal kemunculannya dengan pada saat kesenian ini sudah mengalami perkembangan. Pada awal kemunculan, komposisi yang digarap[2] adalah komposisi yang berupa permainan pola suara saja, yang mana belum memilki pakem atau aturan-aturan tertentu. Musik yang digarap merupakan karya dari salah satu anggota kelompok kesenian tersebut. Pada pekembangannya, musik-musik yang digarap adalah gendhing-gendhing repertoar yang terdapat dalam kesenian karawitan. Selain itu juga lagu-lagu campursari yang sedang populer di saat sekarang.

Dalam mengamati keberadan musik bambu ini, ada beberapa permasalahan yang saya rasa cukup menarik untuk dibahas. Beberapa permasalahantersebut antara lain:

1. Bagaimanakah proses kemunculan perkembangan kelompok kesenian musik bambu ini hingga dapat berbentuk sedemikian rupa?

2. Hal apa yang melatarbelakangi kemunculan kelompok kesenian ini?

3. Bagaimanakah perkembangan kelompok musik bambu tersebut?

Adapun permasalahan tersebut merupakan batasan bagi saya dalam melakukan penelitian terhadap kelompok kesenian musik bambu ini.

II. Pembahasan

A.Proses Kemunculan dan Latar Belakang Kemunculan.

Kesenian musik bambu ini muncul pada tahun 2003 pada masyarakat Dk. Smbon, Ds. Kertonatan, Kecamatan Kartasura, kabupaten Sukoharjo. Dimana di wilayah Kartasura ini pada awalnya jarang sekali ditemukan kelompok maupun komunitas seni yang menggunakan bambu sebagai media untuk berkesenian. Sehingga kemunculan kelompok kesenian ini merupakan salah satu fenomena baru yang muncul di wilayah kartasura.

Pada awalnya kesenian muncul sebagai alat dalam suatu acara peringatan hari sumpah pemuda yang diselenggarakan oleh masyarakat Dk. Sambon, Ds. Kertonatan pada tahun 2003. Yaitu warga masyarakat menyelenggarakan acara peringatan dengan mengadakan lomba tetek. Pada acara tersebut, warga masyarakat diminta untuk membuat kelompok untuk mengikuti lomba tersebut.

Dalam acara peringatan sumpah pemuda tersebut, lomba klothekan (musik tetek) ini dirasa cukup berhasil untuk menarik minat masyarakat, khususnya para pemuda dalam hal berkesenian. Hal ini dirasakan dengan meriahnya acara peringatan sumpah pemuda yang diselenggarakan tersebut.

Antusias warga untuk mengikuti acara ini sangat besar. Hal ini nampak pada 1 minggu menjelang acara peringatan yang diselenggarakan. Jarang sekali terlihat warga (pemuda ) yang nongkrong di pinggir jalan seperti hari-hari sebelumnya. Hal ini didisebabkan pemuda di Dk. Sambon sudah mulai disibukkan dengan kegiatan latihan dalam rangka mempersiapkan diri untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan lomba tetek pada acara peringatan hari sumpah pemuda. Selain itu juga perlu diketahui bahwa di wilayah ini jarang sekali suatu kegiatan masyarakat yang memanfaatkan suatu kesenian untuk mengisi kegiatan tersebut.

Kegiatan bermusik dengan menggunakan media bambu ini selanjutnya tidak terhenti hingga acara perlombaan tersebut usai. Bp. Suharto[3] yang merupakan salah seorang tokoh masyarakat di Dk. Sambon ini, selanjutnya mengusulkan agar supaya kegiatan bermusik dengan menggunakan bambu (tetek) ini dijadikan kegiatan di dalam masyarakat yang mana kegiatan ini ditujukan untuk para pemuda, dengan harapan pemuda di wilayah ini menjadi pemuda yang kreatif. Selain itu kegiatan ini juga ditujukan untuk mengurangi kegiatan pemuda yang dirasa kurang bermanfaat. Hal ini muncul karena keprihatinan Bp. Suharto beserta beberapa warga masyarakat yang mengamati keseharian para pemuda di wilayah ini, dimana dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan pemuda sering sekali hanya duduk-duduk dipinggir jalan dengan minuman keras atau bahkan berjudi.

Selanjutnya, usulan Bp. Suharto ini diterima dan mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang lain. Dalam menyikapi hal tersebut. Selanjutnya warga masyarakat menjadikan musik tetek ini sebagai kegiatan rutinitas di dalam masyarakat Dk. Sambon. Sebuah kelompok musik selanjutnya terbentuk di dalam masyarakat ini. Dimana anggota dari kelompok musik ini adalah para warga masyarakat di Dk. Sambon yang terdiri dari Bapak-bapak dan pemuda.

Kegiatan yang berlangsung setelah terbentuknya kelompok musik ini cukup baik. Pada awal terbentuknya kelompok ini, latihan diadakan setiap minggunya rata-rata 1 kali latihan, bahkan pernah latihan diadakan 2 kali dalam 1 minggu. Dengan kegiatan ini, ternyata sedikit banyak dapat mengurangi kegiatan pemuda yang dianggap kurang bermanfaat tersebut. Meskipun tidak semua warga (pemuda) mau untuk ikut serta dalam kegiatan ini, dan masih banyak juga pemuda yang masih tetap nongkrong di pinggir jalan setiap harinya sampai pada saat makalah ini dibuat.

Gb. Instrumen kendhang ensemble musik bambu

Namun demikian, usaha untuk melestarikan dan mengembangkan musik tetek ini tetap dilakukan oleh masyarakat Dk. Sambon, Ds. Kertonatan, Kec. Kartasura ini. Hal tersebut tampak dengan keberadaan musik bambu yang sampai saat ini masih dapat dijumpai di wilayah ini. Meskipun, anggota kelompok musik ini tidak sebanyak pada saat kelompok kesenian ini muncul pertama kali.

B. Perkembangan kelompok kesenian musik bambu

Sebuah kebudayaan yang merupakan hasil dari olah pikir manusia selalu akan mengalami perubahan, yaitu berkembang berubah menjadi bentuk lain atau bahkan hilang (mengalami kepunahan). Hal ini dikarenakan perubahan waktu yang juga menyebabkan perubahan kebutuhan manusia, sehingga memaksa manusia untuk lebih berfikir membuat sesuatu yang baru yang sesuai dengan kebutuhannya.

Seperti halnya yang terjadi dengan musik tetek yang hidup di wilayah Dk. Sambon, Ds. Kertonatan, Kec. Kartasura ini yang juga merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. Selama beberapa tahun, kesenian ini mengalami perkembangan sampai dengan musik bambu yang saat sekarang dapat dijumpai di Dk. Sambon tersebut.

Berawal dari ide-ide masyarakat di wilayah ini kesenian tersebut muncul dan di dalam masyarakat ini pula kesenian tersebut berkembang. Musik tetek yang pada awalnya tidak memiliki bentuk dan nada yang teratur ini kemudian mengalami perubahan bentuk dan penggunaan nada dalam instrument musik ini. Hal ini juga menyebabkan perubahan musik yang digarap dalam kelompok kesenian ini.

Pada awalnya, bentuk ensemble musik tetek ini tidak memiliki aturan yang pasti (pakem) dalam membuatnya. Pada saat membuat instrumen musik ini hanya asal dibentuk saja. Bambu yang tersedia hanya dipotong-potong untuk dapat menghasilkan suara yang berbeda-beda. Sudah tentu nada yang dihasilkanpun tidak teratur. Karena pada awalnya tujuan dari kemunculan kesenian ini adalah hanya untuk memperingati hari sumpah pemuda di wilayah ini selain juga untuk menarik minat pemuda untuk berperan serta dalam acara peringatan tersebut disamping untuk mengurangi kegiatan pemuda yang dinilai kurang bermanfaat. Sehingga aspek musikal dari instrumen musik tetek ini kurang begitu diperhatikan. Dengan kata lain, asal bambu-bambu yang digunakan dapat menimbulkan suara dan dapat untuk memeriahkan dalam acara peringatan tersebut, itu sudah cukup.

Musik yang digarap dengan instrumen musik tetek ini hanya berupa pola-pola permainan suara saja. Setiap instrumen pada satu kelompok musik tetek ini memiliki pola permainan yang berbeda-beda. Dari masing-masing instrumen yang memainkan pola yang berbeda tersebut akhirnya dapat memunculkan suatu pola ritme lagu.

Selanjutnya, dalam perkembangannya masyarakat di Dk. Sambon mencoba untuk membuat instrumen tetek tersebut menjadi bentuk lain. Selain ingin merubah bentuk, mereka juga merubah nada pada instrumen tersebut.

Bp. Suharto yang merupakan salah seorang pelopor pendiri kelompok kesenian tersebut mengusulkan untuk melaras nada instrumen tersebut dengan larasan yang terdapat pada instrumen gamelan Jawa, yaitu dengan laras pelog dan slendro. Pemilihan kedua larasan ini dikarenakan masyarakat di lingkungan tersebut merupakan masyarakat Jawa, dimana mereka sudah cukup mengenal kedua laras tersebut. Selain itu, kehadiran Bp. Slamet (salah seorang warga Dk. Sambon) sebagai seorang yang pernah merasa dekat dengan karawitan ini dan juga masyarakat yang meminta beliau untuk melaras instrumen tersebut yang selanjutnya muncul ensemble musik bambu yang saat sekarang masih hidup dan berkembang di Dk. Sambon tersebut.

Selain larasan yang menggunakan nada-nada dari instrumen gamelan, bentuk instrumen musik bambu pun juga meniru beberapa bentuk instrumen gamelan. Selain bentuk dan juga nada, penamaan ensemble yang terdapat dalam kelompok ensembel musik bambu tersebut juga diambil dari nama-nama instrumen dari kelompok ensemble gamelan, seperti halnya balungan, kendhang, kempul dan gong.

Gb. Instrumen balungan ensemble musik bambu

Instrumen musik yang terdapat pada ensemble musik bambu ini terdiri dari 6 instrumen, yang diantaranya adalah; kendhang, 3 instrumen balungan, kempul dan gong. Semua instrumen yang terdapat dalam ensemble ini terbuat dari bambu. 3 instrumen balungan yang terdapat dalam kelompok ensemble ini, masing-masing terdiri dari 2 instrumen yang berlaras pelog dan slendro.

Perubahan nada dan juga bentuk ensemble tersebut, selanjutnya juga mempengaruhi perubahan garapan (musik yang dikerjakan) dalam ensemble ini. Adapun musik yang digarap dalam kelompok ensemble musik bambu yang saat sekarang dijumpai adalah gendhing-gendhing (lagu) yang terdapat dalam karawitan Jawa. Gendhing-gendhing yang sudah ada tersebut diolah sedemikian rupa dengan menggunakan ensemble musik bambu oleh kelompok kesenian yang terdapat di Dk. Sambon tersebut. Selain itu, dalam kelompok kesenian ini musik lain yang digarap adalah campursari dan dangdut.

Selain perkembangan yang berupa perubahan dari kelompok ensemble musik tetek menjadi kelompok ensemble musik bambu yang terjadi pada kelompok kesenian musik bambu di Dk. Sambon ini, kehidupan musik bambu juga sempat berkembang diwilayah lain di sekitar Dk. Sambon. Lahirnya musik bambu di Dk. Sambon ini ditiru oleh masyarakat yang hidup di sekitar Dk. Sambon, misalnya pada masyarakat Dk. Mijipinilian. Kelompok ensemble musik bambu yang hidup di daerah ini sama dengan kelompok ensemble yang hidup di Dk. Sambon. Namun, kehidupan kelompok ensemble musik bambu di Dk. Mijipinilian ini tidak berlangsung lama. Musik bambu yang hidup tersebut hanya dapat bertahan selama 2 tahun, yaitu hingga tahun 2006. Hal ini disebabkan kurangnya partisipasi masyarakat di wilayah tersebut untuk melestarikan kesenian tersebut.

Keadaan lesu juga nampak pada kelompok musik bambu yang hidup di Dk. Sambon saat sekarang. Berbeda dengan keadaan kelompok kesenian ini di awal kemunculannya yang tampak begitu hidup. Hal ini tampak pada saat awal berdirinya kelompok ini, kegiatan latihan yang berlangsung setiap minggunya rata-rata 1 kali dalam 1 minggu, terkadang latihan diadakan 2 kali dalam 1 minggu. Saat sekarang, tidak ada lagi jadwal latihan rutin yang diselenggarakan di setiap minggu maupun setiap bulan. Kegiatan latihan diadakan hanya pada saat mereka mendapatkan tanggapan (tawaran untuk pentas) saja. Selain itu, anggota kelompok yang masih ikut aktif dalam kegiatan kelompok kesenian ini berbeda dengan keadaan di awal kelompok ini lahir. Pada awal kemunculannya, banyak pemuda yang turut aktif dalam kegiatan kesenian di dalam kelompok ini. Dalam perkembangannya, saat sekarang hanya tinggal 1 orang pemuda saja yang masih tetap aktif mengikuti kegiatan yang diselenggarakan dalam kelompok kesenian ini. Hal ini disebabkan, sebagian besar pemuda jenuh dan kurang tertarik dengan musik bambu tersebut. Karena, musik bambu yang saat sekarang hidup hampir dapat dikatakan sama dengan musik karawitan, hanya saja instrumen yang digunakan terbuat dari bambu. Mungkin karena hal inilah banyak pemuda yang keluar dari kelompok kesenian ini. Sebagian dari mereka yang keluar dari kelompok kesenian ini akhirnya mendirikan kelompok-kelompok musik lain seperti halnya campursari, dangdut dan pop.

Melihat sebuah fenomena kebudayaan semacam ini, tentu partisipasi masyarakat sebagai pemilik sebuah kebudayaan sangatlah perlu demi kelestarian sebuah kebudayaan. Selain masyarakat pemilik kebudayaan, saat sekarang peran serta pemerintah juga sangat diperlukan untuk mempertahankan kebudayaan tersebut agar tetap hidup selain juga dukungan dari masyarakat pendukung lain di luar masyarakat pemilik kebudayaan tersebut.

III. Kesimpulan.

Kesenian musik bambu yang terdapat dalam masyarakat Dk. Sambon, Ds. Kertonatan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo ini merupakan sebuah bentuk kesenian yang baru. Kesenian ini muncul pada tahun 2003 dengan nama kesenian musik tetek, dimana pada awalnya kesenian ini difungsikan sebagai sarana dalam sebuah acara peringatan. Selain itu juga merupakan kegiatan yang difungsikan untuk mengalihkan kegiatan sebagian besar pemuda di wilayah ini yang dinilai kurang positif.

Pada sekitar tahun 2004, kesenian tetek tersebut mengalami perkembangan, dimana kesenian ini mengalami perubahan menjadi kelompok ensamble musik bambu. Perubahan yang terjadi tampak mulai dari larasan (tangga nada yang digunakan), bentuk instrumen dan juga garap lagu (musik).

Perubahan yang terjadi pada musik kelompok musik tetek yang berubah menjadi kelompok musik bambu mendapatkan pengaruh yang sangat besar dari salah satu kesenian yang hidup disekitar wilayah ini, yaitu kesenian karawitan (musik gamelan ageng Jawa). Hal tersebut tampak dari model bentuk instrumen kelompok musik bambu yang menyerupai beberapa model instrumen yang terdapat dalam kelompok ensamble gamelan Jawa. Selain itu, penggunaan tangga nada pelog dan slendro yang juga digunakan dalam kesenian karawitan. Bukti bahwa pengaruh karawitan sangat besar terhadap kehidupan kelompok kesenian ini adalah pada garapan musik dalam kelompok kesenian musik bambu tersebut. musik (lagu) yang digarap dalam kelompok kesenian ini adalah repertoar gendhing yang terdapat di dalam kesenian karawitan.

Kehidupan kelompok kesenian musik bambu yang hidup di Dk. Sambon, Ds. Kertonatan, Kecamatan Kartasura ini, saat sekarang mengalami kemunduran jika dibandingkan dengan awal dimana kesenian ini muncul di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan latihan yang pernah berjalan secara rutin, saat sekarang sudah tidak dijalankan lagi oleh masyarakat di wilayah ini. Kegiatan latihan dilakukan pada saat kelompok ini mendapat tawaran untuk pentas. Kemunduran kelompok kesenian musik bambu ini juga disebabkan kejenuhan yang dirasakan oleh sebagian besar orang yang pernah atau masih menjadi anggota dalam kelompok kesenian ini.



[1] Tetek: klothekan dengan menggunakan instrument dari bambu (Suharto)

[2] Garap: serangkaian kegiatan dari sesorang dan atau berbagai pihak, terdiri dari beberapa tahapan atau kegiatan yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu (Rahayu Supanggah 2007:3)

[3] Bp. Suharto sekarang menjadi ketua dalam kelompok kesenian music bambu